Banjir Genuk dan Tantangan Tata Kota: Saatnya Beralih ke Nature-Based Solutions

Terjadinya hujan lebat selama 2 hari berturut-turut membuat sejumlah kelurahan di Kecamatan Genuk, Kota Semarang kembali tergenang. Hal ini menimbulkan kemacetan yang parah di sepanjang Jalan Pantura Semarang-Demak dan perlunya evakuasi ringan di beberapa titik.

Genangan yang mencapai hampir setengah meter di beberapa titik bukan hanya akibat hujan ekstrem, melainkan akibat dari sistem drainase yang tidak mampu lagi menampung limpasan air di sekitar kawasan industri dan permukiman padat di daerah Pantura Semarang. Genuk merupakan daerah yang didominasi oleh kawasan industri dan permukiman padat, yang menyebabkan berkurangnya ruang terbuka hijau dan daerah resapan air. Perubahan tata guna lahan yang masif pun menjadikan air hujan tidak dapat treserap optimal, sehingga meningkatkan risiko banjir genangan terutama saat curah hujan tinggi. Selain itu, hal ini diperparah juga oleh fenomena banjir rob dan penurunan muka tanah yang ekstrim di Kota Semarang dengan laju penurunan mencapai 7-13 cm per tahun, terutama di wilayah pesisir.

Sebagai mahasiswa Perencanaan Wilayah dan Kota yang tinggal di wilayah pesisir, fenomena ini memperlihatkan desain kota masih lebih mengandalkan pendekatan gray infrastruktur yang merujuk pada pendekatan konvensional dalam pembangunan yang menggunakan material buatan seperti beton, baja, dan aspal untuk membangun sistem fisik yang mengatur air, energi, dan mobilitas. Jika dilihat lebih dalam pendekatan gray infrastruktur seperti tanggul, pompa air bahkan kanal beton memang dapat memberikan respon cepat terhadap banjir. Infrastruktur tersebut memang efektif secara teknis untuk mengurangi volume air yang menggenang, tetapi seringkali tidak menyelesaikan akar permasalahan. Dalam jangka panjang, pendekatan ini cenderung menciptakan ketergantungan pada sistem mekanis, mengabaikan fungsi alami lingkungan dan memperkecil ruang hiijau yang justru dibutuhkan untuk penyerapan air. Padahal konsep Nature-Based Solutions (NbS) dapat menawarkan ruang kompromi antara pembangunan dan keberlanjutan lingkungan yang semua pihak dapat ikut terllibat dalam melakukan program tersebut. Konsep ini menawarkan paradigma baru yang lebih berkelanjutan dan adaptif terutama di wilayah pesisir. Pandangan ini diperkuat oleh Cohen-Shacham (2016), yang menjelaskan bahwa NbS secara sistematis memanfaatkan kekuatan alam untuk mendukung pembangunan berkelanjutan. NbS tidak hanya berfokus pada perlindungan lingkungan, tetapi juga menjadi sarana multifungsi untuk mengurangi dampak bencana hidrometeorologis seperti banjir, kekeringan, tanah longsor, dan abrasi pantai.

Nature-Based Solutions (NbS) didefinisikan sebagai solusi untuk melindungi, mengelola secara berkelanjutan, dan memulihkan ekosistem alami yang dimodifikasi dengan cara mengatasi tantangan masyarakat secara efektif dan adaptif, untuk memberikan kesejahteraan manusia dan manfaat keanekaragaman hayati. NbS juga dapat diterapkan sebagai bagian dari pendekatan hierarki mitigasi. Bahkan NbS didukung pada KTT Iklim PBB 2019 karena memiliki potensi untuk mengatasi tantangan sosial dan ekologi global.  NbS merupakan strategi kolaboratif yang melibatkan partisipasi aktif lintas sektor, dari tahap perencanaan (co-planning), perancangan (co-design), hingga pengelolaan bersama (co-management). Dalam dokumen International Union for Conservation of Nature (IUCN) menetapkan delapan prinsip utama yang menjadi acuan pelaksanaan NbS secara kredibel, yaitu: (1) berlandaskan pada konservasi alam, (2) dapat diterapkan secara mandiri atau terintegrasi, (3) berbasis pengetahuan lokal dan ilmiah, (4) memberikan manfaat sosial yang adil, (5) menjaga keanekaragaman hayati dan budaya, (6) diterapkan pada skala lanskap, (7) menyeimbangkan manfaat ekonomi jangka pendek dan jasa ekosistem jangka panjang, (8) terintegrasi ke dalam kebijakan dan sistem kelembagaan.

Penerapan Nature-Based Solutions (NbS) sangat bergantung pada pendekatan yang terstruktur, kolaborasi lintas sektor misal antara pemerintah kota, pelaku industri dan masyarakat lokal, dan berbasis manfaat lintas sektor. Co-design yang partisipatif, pemantauan berkelanjutan, dan integrasi kebijakan lintas sektor juga penting untuk keberhasilan NbS. NbS perlu diintegrasikan dalam rencana tata ruang yang adaptif iklim dan sinkron dengan kebijakan baik Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) maupun rencana pembangunan serta kebijakan sektoral lainnya. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan daya dukung lingkungan dan kualitas ruang hidup masyarakat.  Pola NbS yang melibatkan intervensi fisik dan sosial secara bersamaan, serta fokus pada tujuan manfaat bersama, akan lebih efektif dalam mengatasi krisis perkotaan seperti perubahan iklim, bencana, dan degradasi ekologi.

Namun perlu diingat bahwa konsep NbS tidak hanya berbicara tentang “mengeringkan atau menghilangkan air secepat mungkin”, tetapi NbS dapat mengatur air agar tetap menjadi bagian dari sistem ruang kota. Misalnya pembuatan kolam retensi (detention ponds) yang dapat berfungsi ganda sebagai taman kota atau ruang publik, pembuatan jalur hijau,restorasi vegetasi dengan akar yang kuat disekitar bantaran sungai atau bahkan jalan, restorasi vegetasi pantai seperti mangrove di wilayah pesisir. Semua ini sebagai bentuk rekayasa alami yang dapat memperbaiki kualitas ruang dan ekologi kota. Penataan ruang saat ini perlu menempatkan air sebagai aktor utama dalam ruang kota, bukan sebagai ancaman. Banjir di Genuk bukan kejadian baru. Namun, yang baru seharusnya cara berpikir kita bahwa hidup berdampingan dengan air bukan tanda kelemahan tata kota, melainkan bentuk kecerdasan ruang yang mampu memahami ritme alam sebagai bagian dari keberlanjutan.

Dewi Ilma Mustafidah
Kabid KPP HMI Komisariat Teknik SA 2025 dan Anggota Mahasiswa Pecinta Alam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed