Jakarta – Di tengah meningkatnya perhatian publik terhadap isu-isu kemanusiaan nasional, kondisi Papua kembali menempati posisi yang mencemaskan. Deretan kekerasan dan pelanggaran HAM yang terus terjadi menuntut respons cepat dari berbagai elemen bangsa, termasuk mahasiswa. Dalam situasi itulah, Guru Besar Damai dan Resolusi Konflik Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Prof. Abdul Haris Fatgehipon, mengajak gerakan mahasiswa untuk tidak berpaling. Ajakan tersebut ia sampaikan saat membawakan materi “Rekonstruksi Gerakan Kebangsaan” pada Musyawarah Kerja (Muker) Aliansi BEM se-Bogor Raya di Bogor, Sabtu (15/11/2025).
Haris menegaskan bahwa upaya membangun kembali spirit kebangsaan hanya mungkin dilakukan bila mahasiswa peka terhadap persoalan kemanusiaan yang terjadi. Ia menyebut situasi Papua sebagai cerminan paling nyata bahwa Indonesia sedang menghadapi krisis HAM yang serius.
“Isu HAM di Papua semakin tajam. Mahasiswa tidak boleh menutup mata. Kekerasan terhadap warga sipil, guru, tenaga kesehatan, hingga aparat keamanan seharusnya menjadi alarm moral bagi gerakan mahasiswa,” ujarnya.
Ia kemudian mengingatkan bahwa peran sentral pemuda dan mahasiswa selalu hadir dalam setiap fase perubahan bangsa. Namun kini, ia menyayangkan posisi mahasiswa yang justru semakin termarginalkan.
“Dulu mahasiswa adalah motor perubahan. Namun sekarang mereka diperlakukan seolah hanya penonton, bahkan dianggap sebagai beban pembangunan,” katanya.
Haris menilai bahwa lemahnya peran mahasiswa juga disebabkan oleh konflik internal di organisasi kemahasiswaan dan kepemudaan. Banyak organisasi yang menurutnya lebih mengedepankan garis keturunan dan kepentingan kelompok sempit ketimbang kapasitas intelektual dan komitmen ideologi.
“Konflik internal harus dibenahi. Jika dibiarkan, itu akan merusak kemurnian ide dan gagasan gerakan mahasiswa,” tegasnya.
Ia juga menyoroti berbagai tantangan besar yang kini dihadapi bangsa: daya beli masyarakat yang menurun, pengangguran, korupsi, judi online, narkoba, serta dominasi oligarki terhadap ekonomi dan sumber daya alam. Seluruh persoalan tersebut, ditambah dengan eskalasi kekerasan di Papua, menurut Haris, menjadi isu krusial yang membutuhkan perhatian serius dari mahasiswa.
“Persoalan-persoalan struktural ini harus menjadi pusat perhatian gerakan mahasiswa hari ini,” ujarnya.
Terkait Papua, Haris menekankan bahwa isu tersebut adalah persoalan kemanusiaan yang tidak boleh diabaikan. Ia mengecam tegas berbagai tindakan kekerasan oleh kelompok kriminal bersenjata (KKB/TPNPB-OPM) yang menargetkan warga sipil maupun aparat keamanan.
“Kita menyaksikan guru, tenaga medis, pendulang emas, perempuan, hingga masyarakat biasa menjadi korban. Mahasiswa harus menunjukkan kepekaan terhadap tragedi kemanusiaan seperti ini,” jelasnya.
Haris menegaskan bahwa sikap acuh terhadap kondisi tersebut sama saja dengan mengkhianati nilai dasar kemerdekaan Indonesia.
“Ketika mahasiswa bungkam, nurani kemanusiaan ikut mati. Dan itu sangat berbahaya,” ujarnya.
Menutup pemaparannya, Haris kembali menekankan bahwa masa depan bangsa sangat bergantung pada keberanian mahasiswa untuk mengambil peran sebagai kekuatan moral dan intelektual dalam membela nilai-nilai kemanusiaan.
“Pemuda dan mahasiswa harus berada di garis terdepan sebagai pelopor pembangunan, penjaga kedaulatan bangsa, dan pembela martabat kemanusiaan. Tanpa itu, rekonstruksi gerakan kebangsaan hanya akan menjadi slogan,” pungkasnya.












