Refleksi 80 Tahun Kemerdekaan: Antara Janji Pasal 33 UUD 1945 dan Realita Perampasan Ruang

Delapan puluh tahun sudah bangsa Indonesia berdiri sebagai negara merdeka, dengan proklamasi 17 Agustus 1945 sebagai tonggak sejarah pembebasan dari belenggu kolonialisme. Kemerdekaan dimaknai sebagai ruang hidup yang bebas dari penindasan, kesempatan yang setara bagi setiap warga negara untuk mengelola sumber daya, serta jaminan keadilan sosial sebagaimana termaktub dalam sila kelima Pancasila. Namun, dalam konteks perencanaan tata ruang dan pengelolaan sumber daya alam, pertanyaan mendasar kembali mencuat: benarkah kemerdekaan itu sudah hadir bagi seluruh rakyat Indonesia? Atau kemerdekaan hanya sebatas milik segelintir elit dan korporasi besar di negeri ini yang mampu menguasai ruang dengan segala instrumen kekuasaannya? Pertanyaan ini relevan untuk direnungkan di usia delapan dekade kemerdekaan, ketika konflik dan problematika tata ruang semakin marak, dan rakyat kecil seringkali menjadi korban dan terpinggirkan.

Isi konstitusi negara, khususnya Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, dengan tegas menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Rumusan normatif ini seharusnya menjadi landasan filosofis dan yuridis dalam penyusunan dokumen perencanaan, termasuk dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) sebagai dokumen perencanaan spatial atau Rencana Pembangunan Jangka Panjang/Menengah (RPJP/M) sebagai dokumen perencanaan pembangunan. Prinsip yang terkandung di dalamnya jelas, yakni penguasaan negara atas ruang dan sumber daya bukan untuk kepentingan segelintir kelompok, melainkan untuk menghadirkan keadilan distributif yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun, praktik di lapangan menunjukkan paradoks. Tata ruang di Indonesia justru sering kali menjadi instrumen untuk melegitimasi alih fungsi lahan yang menguntungkan korporasi besar, sementara masyarakat kecil tersingkirkan dari ruang hidupnya.

Kasus-kasus pelanggaran tata ruang yang sudah sangat sering mencuat menunjukkan betapa lemahnya posisi rakyat ketika berhadapan dengan kekuasaan. Di Subak Jatiluwih, Bali, yang telah diakui sebagai Warisan Budaya Dunia UNESCO, muncul bangunan-bangunan ilegal yang melanggar zona hijau dan jalur lindung. Alih fungsi lahan pertanian yang seharusnya dijaga demi keberlanjutan pangan, berubah menjadi akomodasi pariwisata yang dikelola oleh investor. Di Sidoarjo, pembangunan rumah di kawasan zona hijau juga menunjukkan lemahnya pengawasan dan keberpihakan pemerintah terhadap fungsi ekologis lahan. Lebih jauh lagi, konflik agraria yang lebih besar tampak pada proyek-proyek strategis nasional, kawasan industri, hingga perkebunan sawit dan tambang. Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) tahun 2023 menunjukkan masih ada ratusan kasus konflik agraria dengan luasan lebih dari 500 ribu hektar, yang sebagian besar melibatkan perusahaan besar berhadapan dengan masyarakat adat atau petani kecil. Situasi ini memperlihatkan bahwa ruang bukan lagi dipandang sebagai commons yang dimanfaatkan secara adil, melainkan sebagai komoditas ekonomi yang diperebutkan oleh aktor-aktor kuat, karena negara lebih mengutamakan mengakomodasi kepentingan kalangan elit, baik penguasa maupun pengusaha.

Konflik tata ruang ini merupakan indikasi dari kegagalan negara dalam menegakkan prinsip spatial justice atau keadilan spasial. Konsep ini menekankan bahwa distribusi ruang dan akses terhadap sumber daya harus dilakukan secara adil, mempertimbangkan keberlanjutan ekologis, serta menghormati hak-hak masyarakat lokal. Namun, dalam praktiknya, kebijakan tata ruang di Indonesia seringkali bias pada pertumbuhan ekonomi semata, disesuaikan pada obsesi para penguasa dengan mengorbankan dimensi keadilan sosial dan lingkungan. Instrumen hukum seperti Undang-Undang Cipta Kerja semakin mempertegas arah kebijakan yang pro-investasi, dengan penyederhanaan izin yang pada praktiknya mengabaikan partisipasi masyarakat. Ini disebut sebagai bentuk neoliberal spatial governance, di mana ruang dikelola bukan sebagai ruang hidup, melainkan sebagai aset ekonomi yang tunduk pada logika akumulasi kapital.

Refleksi atas delapan puluh tahun kemerdekaan menunjukkan adanya gejala neo-kolonialisme di bidang tata ruang. Jika pada masa kolonial, tanah dan ruang dirampas oleh pemerintah kolonial Belanda untuk kepentingan perkebunan dan eksploitasi sumber daya, maka pada era kini perampasan ruang dilakukan melalui instrumen hukum, perizinan, dan proyek pembangunan. Bedanya, aktor utama perampasan bukan lagi pemerintah kolonial asing, melainkan elit politik-ekonomi domestik yang berkolaborasi dengan korporasi transnasional. Rakyat kecil tetap berada di posisi yang sama: terpinggirkan, kehilangan ruang hidup, dan teralienasi dari janji kemerdekaan. Inilah yang oleh banyak akademisi disebut sebagai “kolonialisme internal”, di mana negara yang merdeka justru mereproduksi pola-pola ketidakadilan kolonial dalam tata kelola ruangnya.

Lebih jauh, problem tata ruang di Indonesia juga menunjukkan krisis implementasi perencanaan partisipatif. UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang sebenarnya telah mengamanatkan pentingnya keterlibatan masyarakat dalam penyusunan RTRW. Namun, dalam praktiknya, partisipasi seringkali hanya bersifat formalitas. Aspirasi masyarakat tidak benar-benar diakomodasi, sementara keputusan akhir tetap berada di tangan pemerintah daerah dan investor dirancang untuk mendapatkan profit atau keuntungan yang banyak banyaknya tanpa terinterupsi. Kondisi ini memperlihatkan dominasi logika top-down dalam perencanaan ruang, yang bertentangan dengan prinsip perencanaan inklusif. Padahal, teori-teori perencanaan modern menekankan pentingnya collaborative planning (Healey, 1997), di mana aktor-aktor lokal memiliki ruang deliberatif untuk menentukan arah pengelolaan ruang. Kegagalan menerapkan prinsip ini menyebabkan tata ruang di Indonesia bukan hanya tidak adil, tetapi juga rentan menimbulkan konflik sosial akibat dari pembangunan yang lebih mementingkan aspek ekonomi, ketimbang memperhatikan faktor manusia, sosial dan budaya.

Momentum peringatan 80 tahun kemerdekaan seharusnya menjadi ruang refleksi kritis. Apakah kemerdekaan yang dirayakan setiap bulan Agustus ini benar-benar kemerdekaan yang substantif, atau hanya seremonial? Kemerdekaan sejati adalah ketika setiap warga negara, tanpa terkecuali, memiliki akses yang adil terhadap ruang hidup dan sumber daya alam. Kemerdekaan sejati adalah ketika Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 benar-benar dijalankan, bukan hanya dijadikan hiasan konstitusi. Apabila praktik tata ruang masih terus berpihak pada korporasi dan menyingkirkan rakyat kecil, maka sesungguhnya bangsa ini belum benar-benar merdeka. Yang merdeka hanyalah segelintir elit yang menguasai ruang, sementara rakyat kebanyakan hanya menjadi penonton yang terpinggirkan di tanahnya sendiri.

Dalam konteks inilah, kritik terhadap pemerintah perlu ditegaskan. Pertama, pemerintah harus berani menegakkan hukum tata ruang secara konsisten, bukan hanya rakyat kecil yang dianggap melanggar, tetapi terutama kepada korporasi besar yang melakukan perampasan ruang. Kedua, reformasi tata kelola ruang harus diarahkan pada penguatan partisipasi masyarakat, sehingga produk dokumen perencanaan ruang (spatial planning) RTRW ataupun perencanaan pembangunan (development planning) RPJP/M benar-benar lahir dari aspirasi rakyat, bukan semata-mata kepentingan investor. Ketiga, orientasi pembangunan harus dikembalikan pada prinsip keberlanjutan dan keadilan spasial, bukan sekadar pertumbuhan ekonomi jangka pendek. Keempat, penegakan Pasal 33 UUD 1945 harus dilakukan secara serius, sehingga penguasaan negara atas ruang benar-benar dimaknai sebagai mandat untuk mengelola sumber daya demi sebesar besar kemakmuran seluruh rakyat, bukan demi keuntungan segelintir pihak.

Sebagai penutup, refleksi delapan puluh tahun kemerdekaan seharusnya tidak berhenti pada perayaan simbolik. Refleksi sejati adalah ketika bangsa ini berani mengakui bahwa kemerdekaan masih belum sepenuhnya hadir dalam praktik tata ruang. Perampasan ruang yang terus terjadi adalah pengkhianatan terhadap amanat konstitusi dan cita-cita kemerdekaan. Jika pemerintah tidak segera melakukan koreksi, maka sejarah akan mencatat bahwa kemerdekaan yang diperjuangkan dengan darah dan nyawa para pahlawan hanya berbuah pada kemerdekaan semu: merdeka secara politik, tetapi terjajah secara ekonomi dan ruang hidup. Kemerdekaan sejati hanya akan terwujud ketika tata ruang dikelola secara adil, berkelanjutan, dan berpihak pada rakyat kecil—sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi dan cita-cita pendiri bangsa “yaitu untuk sebesar besar kemakmuran rakyat” ini sesuai dengan Firman Allah “Dia telah menciptakanmu dari bumi (tanah) dan menjadikanmu pemakmurnya….”(QS.Hud:61) Karena itu mari memakmurkan bumi karena itu adalah tugas mulia dari Tuhan. Wallahu a’lam bisshawab.

Referensi

  • Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). (2023). Catatan Akhir Tahun Konflik Agraria. Jakarta: KPA.
  • Healey, P. (1997). Collaborative Planning: Shaping Places in Fragmented Societies. London: Macmillan.
  • Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  • Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
  • Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *