0leh : Mohammad Idham Djanawir, S.T
Awal tahun 2020, publik digegerkan dengan musibah banjir yang menimpa Ibu Kota Negara Republik Indonesia, DKI.Jakarta.
Disebabkan oleh besarnya curah hujan yang menimpa beberapa daerah di Indonesia yakni Jakarta, Semarang, DI.Yogyakarta, Depok, Bekasi, dan masih banyak lagi.
Tak heran banjir yang terjadi di Jakarta ini memicu komentar berbagai kalangan masyarakat di Indonesia, bukan hanya kalangan masyarakat yang terkena dampak, sejumlah artis dan selebritis tanah air juga ikut mengomentari.
Beberapa kalangan menjadikan ini sebagai serangan politik. Tentu saja, serangan politik itu hanya menuju ke satu pihak, Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta.
Human Interests Vs Political Interests
Banjir yang terjadi di DKI.Jakarta menurut Fardius Ali, Staf Khusus Menteri PUPR, merupakan musibah yang seharusnya dapat diidentifikasi sebelum terjadi, namun Indonesia belum memiliki teknologi yang mumpuni untuk mengantisipasinya. Oleh sebab itu, menurut penulis musibah yang terjadi di Jakarta bukan merupakan tanggung jawab 1 (satu) orang saja kecuali sudah terpolitisasi.
Menanggapi berbagai serangan yang menimpa dirinya, Anies Baswedan sekedar menyampaikan akan fokus mengurusi korban bencana banjir dan memberikan bantuan yang bersifat urgent sebagai prioritas. Human Interests menjadi perhatiannya dibanding Political Interests.
Padahal sebenarnya mudah saja bagi Anies untuk menyanggah dan menepis segala isu yang menimpanya. Program naturalisasi sungai Ciliwung merupakan giat Anies untuk mencegah banjir di Jakarta yang tentu saja layak untuk diperhatikan dan harus diobjektifikasi kembali.
Oleh sebab itu, naif kiranya jika musibah yang menimpa masyarakat kota Jakarta di goreng sedemikian rupa untuk dijadikan kekuatan segelintir pihak bukannya bahu-membahu membantu masyarakat.
Kecenderungan untuk mempolitisasi segala hal yang terjadi di Jakarta akan menimbulkan stigma buruk bagi jalannya perpolitikan nasional. Hal isi seharusnya disadari oleh tokoh-tokoh politik maupun masyarakat jika menginginkan Indonesia berjalan di atas role demokrasi yang ideal.
Infrastruktur & Non Infrastruktur
Banjir yang disebabkan oleh curah hujan yang ekstrim dapat di cegah dengan menggunakan dua jalan yakni Infrastruktur dan Non Infrastruktur. Infrastruktur yang dimaksud untuk mencegah terjadinya banjir adalah segala hal material yang dapat menyalurkan volume air yang besar sehingga tidak terjadi sumbatan dan menyebabkan terjadinya genangan. Biasanya penyediaan Infrastruktur ini ditentukan oleh public police yang hanya bisa dibuat oleh para pemegang kekuasaan yakni pemerintah.
Dalam kasus ini, melihat posisi geografis Kota Jakarta yang di mana memiliki kawasan yang jauh lebih rendah di banding Kota tetangganya, maka banjir di Jakarta juga disebabkan oleh kiriman air dari dataran yang lebih tinggi yakni Bogor, Depok, dan sekitarnya. Oleh sebab itu, yang mampu mencegah terjadinya banjir bukan hanya dari pemerintah propinsi DKI. Jakarta saja, melainkan kolaborasi dari beberapa pemerintahan regional, atau jika ingin dipermudah harus ada campur tangan pemerintahan pusat.
Hal ini bukanlah hal baru dalam wacana politik kita. Sejak Maret 2014 lalu, saat Joko Widodo masih menjabat sebagai Gubernur DKI.Jakarta, beliau pernah mengatakan “Macet dan Banjir di Jakarta akan lebih mudah diatasi jika menjadi Presiden”. Artinya tokoh-tokoh politik negeri ini sebenarnya sudah sadar sejak lama bahwa banjir Jakarta bukan merupakan tanggung jawab 1 (satu) pihak saja. Namun kali ini banjir ini telah tervabrikasi secara massal dan masif entah apapun alasannya hal ini terlalu naif.
Masih seputar infrastruktur dalam mencegah banjir.
Infrasturuktur yang berkaitan dengan penanganan banjir yang dibangun oleh Pemprov DKI.Jakarta walaupun belum rampung 100%, namun layak untuk dijadikan perhatian. Wujud infrastruktur itu adalah seperti yang penulis sebutkan diatas : Naturalisasi Sungai Ciliwung. Tentu saja ini menjadi ‘Pekerjaan Rumah’ bagi pemprov DKI.Jakarta yang baru menginjak 2 (dua) tahun masa pemerintahan. Kemudian infrastruktur yang menjadi tanggung jawab pemerintah pusat adalah Waduk Sukamahi dan Ciawi yang sampai hari ini belum dapat digunakan dengan berbagai alasan yang melatar-belakanginya. Padahal waduk yang terletak di Kabupateb Bogor itu, merupakan Hulu dari terjadinya banjir besar di Kota Jakarta.
Non Infrastruktur yang dimaksud adalah berkaitan dengan kesadaran masyarakat, dan kondisi iklim yang ekstrim. Sajak-sajak indah yang dilontarkan untuk mencegah banjir akan ‘mental’ begitu saja, jika kesadaran masyarakat belum sepenuhnya tumbuh. Musibah ini bagaimanapun merupakan tanggung jawab bersama, seluruh elemen. Karena itu kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat harus berintegritas. Sampah yang mencapai Ton-ton’an saat dilakukan pembersihan pasca banjir itu adalah salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya sumbatan saluran air sehingga tidak bisa terdistribusi sampai ke laut. Sekali lagi penulis menekankan : Kolaborasi untuk mencegah banjir antara masyarakat dan pemerintah harus terintegrasi dengan baik.
Indonesia sebagai negara beriklim tropis, yang memiliki 2 (dua) musim yakni kemarau dan penghujan sudah bisa memprediksi dan bahkan hampir bisa memastikan kapan musim-musim itu akan datang. Dalam publikasi BMKG, awal musim hujan akan terjadi pada Oktober 2019 dengan sifat normal. Namun, sepertinya alam berkehendak lain, daerah pulau Jawa sampai ke Sumatera pada akhir Desember lalu mengalami curah hujan yang ekstrim sehingga antisipasi gagal dilakukan.
Musibah banjir yang menimpa sebagian besar masyarakat Kota Jakarta merupakan duka yang sangat mendalam dan dirasakan oleh hampir seluruh masyarakat di Indonesia. Seluruh daerah berbondong-bondong melakukan aksi solidaritas pada masyarakat yang terkena dampak. Karena itu musibah kemanusiaan ini harus kita lihat dengan mata terbuka sembari menanggalkan kaca mata politik sebentar saja. Human Interests harus lebih di kedepankan di banding Political Interests.