Tantangan Profesionalisme Polri dalam Kasus Bunuh Diri Brigadir RA

Penulis : Dr. Rasminto, Direktur Eksekutif Human Studies Institute dan Akademisi Universitas Islam 45 (UNISMA)

Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga keamanan, ketertiban, dan keadilan di Indonesia. Namun, di balik implementasi peran yang telah dicapai, Polri juga menghadapi sejumlah tantangan serius, salah satunya adalah kasus bunuh diri anggota dan penyalahgunaan anggota Bawah Kendali Operasi (BKO).

Kasus bunuh diri anggota Polri adalah peristiwa yang menyedihkan dan mengguncang, bukan hanya bagi keluarga dan rekan-rekan sesama anggota, tetapi juga bagi seluruh masyarakat. Sehingga menjadi ironis anggota Polri sebagai penegak hukum dan pengayom Masyarakat, harus mengakhiri hidupnya dengan “Bunuh diri” dengan senjata dinasnya.

Di sisi lain, penyalahgunaan anggota BKO Polri juga menimbulkan keprihatinan serius terkait integritas dan profesionalisme institusi kepolisian. Penggunaan anggota BKO untuk kepentingan pribadi atau komersial dapat merusak hubungan Polri dengan masyarakat serta menciptakan ketidakpercayaan terhadap lembaga penegak hukum.

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo (2023) menyampaikan saat ini ada 447 ribu personel Polri. Jenderal Sigit menyampaikan angka itu baru 50,7 persen dari Daftar Susunan Personel (DSP). Kebutuhan ideal Polri berdasarkan DSP yakni 881 ribu orang. Sehingga masih ada kekurangan 434 ribu orang untuk level AKBP ke bawah.

Selain itu, rasion antara jumlah polisi dan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai lebih 278 juta jiwa (BPS, 2024) adalah sekitar 0,0016 atau bisa dikatakan 0,16% dari jumlah penduduk atau rasionya hanya 1:1000, artinya setiap anggota Polisi melayani 1000 orang. Seharusnya rasio ideanya seperti harapan Kapolri yakni 1:300.

Berdasarkan Pasal 13 UU Nomor 2 Tahun 2002, tugas pokok kepolisian, yakni; Memelihara keamanan serta ketertiban masyarakat; Menegakkan hukum; dan Memberi perlindungan, pengayoman, serta pelayanan kepada masyarakat.

Beban kerja Polri juga dapat dipengaruhi oleh kondisi keamanan dan situasi sosial-politik di masyarakat serta kebijakan pemerintah. Selain itu, Polri juga memiliki tanggung jawab dalam menjaga keamanan dan ketertiban pada acara-acara besar, seperti Pemilu/Pilkada, kunjungan tamu negara, dll.

Beban kerja Polri tidak hanya diukur dari jumlah personel dan jumlah kasus yang ditangani, tetapi juga meliputi efektivitas penegakan hukum, respons terhadap
kebutuhan masyarakat, dan kemampuan untuk mencegah terjadinya kejahatan.

Dampak Penyalahgunaan Anggota BKO Polri. Banyak dampak yang ditimbulkan dari penyalahgunaan anggota BKO Polri, diantaranya:

  1. Penggunaan anggota BKO Polri untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu, seperti pengusaha tertentu, dapat menyebabkan ketidaknetralan dalam penegakan hukum. Hal ini dapat merusak kepercayaan publik terhadap Polri dan menciptakan kesan bahwa hukum tidak ditegakkan secara adil.
  2. Penggunaan anggota BKO Polri untuk kepentingan pribadi dapat melanggar prinsip etika dan kode perilaku yang mengatur tindakan anggota kepolisian. Hal ini menciptakan konflik kepentingan dan merusak integritas institusi Polri.
  3. Penyalahgunaan anggota BKO Polri untuk pengawalan, ajudan, dan pengamanan pengusaha dapat menghabiskan sumber daya yang seharusnya dialokasikan untuk tugas-tugas penegakan hukum yang lebih mendesak dan penting bagi masyarakat.
  4. Keterlibatan Polri dalam pengawalan atau pengamanan pengusaha tertentu dapat menciptakan ketergantungan yang tidak sehat antara kepolisian dan kepentingan bisnis. Hal ini dapat menyebabkan pengaruh yang tidak proporsional dari pihak-pihak tertentu terhadap kebijakan dan tindakan Polri.
  5. Penggunaan anggota BKO Polri untuk kepentingan pribadi seringkali dilakukan tanpa transparansi atau akuntabilitas yang memadai. Kurangnya mekanisme pemantauan dan pengawasan dapat memungkinkan penyalahgunaan kewenangan terjadi tanpa konsekuensi yang tegas.

Menanggapi dinamika yang ada, setidaknya ada beberapa poin saran solusi sebagaimana berikut:

  1. Polri perlu memperkuat penegakan kode etik dan standar perilaku yang jelas bagi anggota BKO. Hal ini mencakup larangan penggunaan kewenangan untuk kepentingan pribadi atau komersial serta sanksi yang tegas bagi pelanggar.
  2. Meningkatkan transparansi dalam penggunaan anggota BKO Polri dengan mewajibkan pelaporan yang terbuka tentang kegiatan mereka. Mekanisme akuntabilitas yang kuat, termasuk audit internal dan eksternal, juga perlu diperkuat.
  3. Polri perlu meningkatkan pengawasan internal terhadap penggunaan anggota BKO, termasuk peninjauan rutin terhadap tugas dan alokasi sumber daya. Unit internal yang bertanggung jawab dapat diperkuat untuk mendeteksi dan menindak pelanggaran.
  4. Anggota Polri perlu diberikan pemahaman yang mendalam tentang prinsip-prinsip etika, keadilan, dan integritas melalui berbagai forum dan diklat secara terus menerus. Mereka juga harus diberikan pemahaman yang lebih baik tentang batasan kewenangan mereka dan konsekuensi penyalahgunaannya.
  5. Membangun kemitraan yang kuat dengan berbagai elemen publik sebagai check and balance, sehingga dapat membantu mendorong transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik dalam pengawasan terhadap kegiatan Polri, termasuk penggunaan anggota BKO.
author avatar
adminbiuus

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *