Oleh: Agam Sulaiman
Sebuah organisasi tak pernah mati karena kekurangan dana atau program, melainkan karena kehilangan rasa memiliki. Banyak yang masih hadir, namun tidak benar-benar hadir. Mereka ada secara fisik, tetapi tidak dengan hati. Di situlah tanda-tanda kelelahan batin mulai terlihat, bukan kelelahan karena bekerja terlalu keras, melainkan karena makna dari kebersamaan itu mulai pudar.
Semangat itu perlahan meredup. Bukan karena lelah bekerja, melainkan karena hati mulai menjauh dari makna perjuangan yang dulu menyatukan. Banyak yang datang, duduk, bahkan aktif secara fisik dalam kegiatan organisasi, namun pikirannya liar entah ke mana. Ruang yang dulu penuh tawa dan semangat kini terasa hampa. Bukan karena ruangnya yang berubah, tapi pelaku organisasi di dalamnya yang mulai tidak searah.
Rasa memiliki terhadap organisasi tidak diukur dari seberapa sering seseorang hadir dalam rapat, menyusun laporan, atau mengikuti program kerja. Ia tumbuh dari perasaan mendalam bahwa “aku adalah bagian penting dari organisasi ini, dan keberadaanku berarti bagi yang lain.” Ketika perasaan itu hilang, maka semua aktivitas akan terasa seperti kewajiban, bukan lagi panggilan hati.
Lalu, bagaimana cara menyalakan kembali rasa memiliki itu? Sebenarnya, tidak perlu Motivasi panjang lebar. Kadang, yang dibutuhkan hanyalah kejujuran dalam tindakan kecil. Dengarkan mereka tanpa menghakimi, Apresiasi setiap kontribusi, sekecil apa pun, tanpa pamrih, percayai kemampuan mereka tanpa rasa curiga.
Kepercayaan dan apresiasi adalah motivasi utama dalam organisasi. Ia menumbuhkan kembali semangat yang mungkin telah pudar. Ketika seseorang merasa dihargai dan dipercaya, ia akan kembali menemukan makna di balik apa yang dikerjakannya.
Mulailah dengan langkah sederhana. Libatkan anggota sejak awal dalam proses, bukan hanya ketika keputusan sudah diambil. Hargai setiap usaha, sekecil apa pun bentuknya. Berikan ruang bagi setiap orang untuk tumbuh, bereksperimen, dan berpendapat tanpa rasa takut dihakimi atau disalahkan. Dari ruang yang aman dan terbuka disitulah kreativitas dan loyalitas akan tumbuh.
Sebuah organisasi tidak akan mati selama pemimpinnya mampu menciptakan suasana yang hidup dan kondusif. Kepemimpinan bukan soal mengatur, tetapi tentang membangun makna kebersamaan. Pemimpin yang bijak tahu kapan harus bicara, kapan harus mendengarkan, dan kapan harus memberi kesempatan kepada orang lain untuk bersinar.
Jangan biarkan rasa memiliki itu padam. Sebab ketika rasa memiliki itu hilang, visi organisasi akan kehilangan arah. Ia tinggal menjadi rangkaian kata indah tanpa tindakan nyata.
Namun selama masih ada orang yang peduli, yang mau menyalakan kembali semangat dengan tindakan sederhana, organisasi itu akan tetap hidup, tumbuh, dan bermakna.

																						



