Founder Malleum Institute, Efatha Filomeno Boromeau Duarte soroti polemik kebijakan pengenaan tarif jaringan utilitas telekomunikasi Surabaya yang diikuti oleh Pemda lainnya di Indonesia.
“Kebijakan pengenaan tarif jaringan utilitas telekomunikasi Kota Surabaya yang tinggi akan menghambat kemajuan kota dan tidak sejalan dengan semangat gotong royong visi kota surabaya 2021, dengan semangat gotong royong menuju Kota Dunia yang maju, humanis dan berkelanjutan”, katanya.
Pasalnya bagi Efatha bahwa tidak adanya kolaborasi dalam perumusan pengenaan tarifnya ke pihak publik
“Visi Kota Surabaya tidak terimplementasi dengan baik, sebab jelas Pemkot Surabaya tidak melibatkan stakeholder terkait dalam perumusan pengenaan tarif sewa utilitas kepada masyarakat dan pelaku usaha”, jelasnya.
Ia pun mengungkapkan pentingnya sinergi antara pemerintah pusat, pemda dan pelaku usaha.
“Pembangunan dan penataan infrastruktur telekomunikasi memerlukan sinergi stakeholder, baik Pemerintah pusat, Pemda dan pelaku usaha”, jelasnya.
Menurutnya, pelibatan berbagai unsur sangat penting terutama dalam penyusunan regulasi.
“Sehingga dalam pembangunan dan penataan utilitas di Kota Surabaya harus melibatkan partisipasi masyarakat dan pelaku usaha terutama dalam penyusunan regulasi serta penetapan biaya”, tukasnya.
Efatha juga menekankan agar Pemda utamakan kualitas pelayanan publik.
“Pembangunan utilitas harus mengutamakan aspek-aspek kepentingan pelayanan publik bukan semata-mata dari unsur bisnis agar adanya peningkatan kualitas pelayanan publik dan akses kesejahteraan masyarakat”, tegasnya.
Lanjut Efatha, kebijakan pengenaan tarif sewa jaringan utilitas publik oleh Kota Surabaya berdampak pada Pemda lainnya.
“Tak pelak dampak kebijakan Pemkot Surabaya akan menjadi contoh bagi 514 Kabupaten/ Kota lainnya membentuk regulasi yang sama, dan kini terdapat 70 perda di 59 Kabupaten/Kota yang ujungnya berdampak pada mahalnya biaya gelaran utilitas jaringan telekomunikasi”, tegasnya.