Oleh: Agam Sulaiman
Kasus vonis 5 tahun penjara terhadap guru SDN 2 Kendari, Mansur, karena tindakannya mengecek suhu badan anak muridnya yang sedang sakit, merupakan luka yang mendalam di dunia pendidikan kita. Namun, yang membuat luka itu semakin parah adalah pernyataan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) Kota Kendari, Ibu Saemina.
Pasalnya Ibu Saemina menekankan bahwa Dikbud tidak akan ikut campur dan menyerahkan sepenuhnya proses hukum kepada pihak yang berwenang. Dalam keterangannya, ia menyatakan, “Kalau kami sepenuhnya menyerahkan di ranah hukum, karena sudah berproses dan tidak mungkin kami intervensi.”
Sebagai pemimpin lembaga pendidikan, pernyataan ini menggambarkan sikap defensif yang jauh dari kata melindungi guru ketika menghadapi persoalan hukum. Bagi saya, sikap ini bukan persoalan non intervensi dan bentuk ketaatan terhadap hukum, melainkan bentuk pelarian daripada tanggung jawab moral dan pembiaran institusional terhadap kriminalisasi profesi guru.
Sebagai representasi tertinggi dunia pendidikan di daerah, Kepala Dikbud seharusnya mampu memberikan posisi yang lebih berimbang. Namun pernyataan-pernyataan yang disampaikan Ibu Saemina justru menegaskan jarak institusional. Ketika ia merujuk kembali pada proses hukum sebagai alasan utama tidak bergerak, sikap ini seolah mengabaikan kewajiban moral untuk memastikan dukungan yang layak bagi tenaga pendidik.
Ibu Saemina menyampaikan bahwa intervensi tidak mungkin dilakukan. Tetapi yang dibutuhkan bukan intervensi terhadap proses hukumnya, melainkan pendampingan terhadap guru yang menjalani proses tersebut. Ada perbedaan besar antara mengintervensi hukum dan mendampingi secara kelembagaan.
Dikbud seharusnya hadir sebagai garda terdepan dalam memberikan dukungan moral dan hukum, bukan hanya menyerahkan sepenuhnya kepada jalur peradilan tanpa ada langkah-langkah perlindungan profesi. Sikap “lepas tangan” seperti ini menimbulkan rasa takut bagi guru lainnya: bahwa siapa pun yang terseret persoalan yang serupa akan menghadapi proses hukum secara personal.
Ibu Saemina menegaskan bahwa penentuan status Mansur usai vonis bukanlah ranah Dikbud, dengan mengatan, “Bukan kami yang menentukan, nanti dari kejaksaan merekomendasikan ke BPSDM.” Pernyataan tersebut mungkin benar secara prosedural, tetapi pernyataan ini menunjukkan ketidaksiapan institusi untuk terlibat dalam advokasi administratif.
Guru tetap berhak mendapat pembelaan, pendampingan, serta evaluasi komprehensif terkait status kepegawaiannya. Menyerahkan urusan tersebut kepada lembaga lain tanpa pandangan kritis dari Dikbud merupakan bentuk pelepasan tanggung jawab yang tidak sepatutnya dilakukan oleh pimpinan instansi pendidikan.
Ibu Saemina juga menyampaikan bahwa PGRI hanya menunjukkan solidaritas dan enggan mencampuri proses hukum yang berlaku. Namun tanpa dukungan penuh dari Dikbud, solidaritas itu kehilangan esensinya. Organisasi profesi memerlukan kekuatan institusional untuk memperjuangkan guru, bukan sekadar simpati dan pernyataan normatif.
Kasus guru SDN 2 Kendari, Mansur, merupaka alarm darurat tentang betapa rapuhnya perlindungan bagi profesi guru di Indonesia. Respons Kepala Dikbud Kendari, Ibu Saemina yang bersikap pasif dengan terus menegaskan bahwa semua urusan diserahkan sepenuhnya kepada proses hukum serta melempar penentuan status ke lembaga lain menunjukkan bahwa institusi pendidikan belum menjalankan perannya secara maksimal dalam melindungi tenaga pendidiknya.
Harusnya, Dikbud semestinya hadir sebagai garda terdepan yang memberikan dukungan dan pendampingan ketika guru menghadapi persoalan hukum terkait tugasnya. Jika instansi pendidikan justru mengambil jarak dan hanya berlindung di balik kata prosedural, maka para guru akan merasa tidak aman dalam menjalankan pekerjaannya. Pada akhirnya, mereka terdorong untuk mengajar tanpa keberanian, tanpa kedekatan emosional, dan tanpa empati karena takut tindakan sekecil apa pun berpotensi menyeret mereka ke ancaman hukuman berat.





