RINTIHAN GURU HONORER, PADA PERINGATAN HARI GURU NASIONAL

Iring-iringan para Revolusioner sejati menuju lapangan upacara untuk melaksanakan penghormatan bendera mewarnai aktivitas masyarakat Indonesia hari ini, 25 November 2019. 

Iring-iringan ini berbeda dengan iring-iringan mahasiswa saat melakukan demonstrasi ataupun para geng motor saat melakukan safari. 

Barikade ini lebih tertib, lebih seragam, dan lebih berkharisma. Tidak ada satu masyarakat pun yang melontarkan tatapan skeptis saat iring-iringan ini melintas dihadapan mereka. 

Bahkan dalam hati, mereka menaruh hormat sedalam-dalamnya pada para Revolusioner yang di Indonesia di beri julukan “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” itu. 

Barikade ini melakukan penghormatan bendera karena tanggal ini telah diperingati sebagai “Hari Guru Nasional” hari lebaran bagi profesinya.

Sekilas Tentang Dunia Pendidikan di Indonesia

Sejarah tentang pendidikan di Indonesia, tidak bisa terlepas dari sosok Ki Hajar Dewantara yang merupakan bapak pendidikan di Indonesia. Bahkan hari kelahirannya pada 2 Mei diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional untuk mengenang jasa-jasanya dalam mempelopori perlawanan kepada Kolonial Belanda melalui jalur pendidikan. 

Slogannya “Ing ngarsa sung tuladha (di depan memberi teladan), Ing madya mangun karsa (di tengah memberi kesempatan untuk berkarya), Tut wuri Handayani (di belakang memberi dorongan/motifasi)” masih dijadikan sebagai slogan pendidikan nasional hingga saat ini karena kekayaan makna filosofis didalamnya.

Ke tiga diktum tersebut, atau yang lebih dikenal dengan Triloka Pendidikan, tentu saja tidak dimaksudkan untuk menjadi tanggung jawab sekalangan atau segolongan manusia saja. Karena pada konteks historisnya, Ki Hajar Dewantara bersama dengan Ki Ageng Suryomentaram saat mendirikan Taman Siswa tidak bermaksud untuk hanya mendidik anak-anak, atau usia remaja saja tetapi untuk mendidik seluruh Rakyat Indonesia. 

Bagi mereka pendidikan bukan hanya transaksi informasi, atau sekedar alat perjuangan dari ketidaktahuan menjadi berpengetahuan saja. 

Pendidikan bagi mereka merupakan tugas kemanusiaan untuk membawa manusia ke keluhurannya. Menjadi manusia yang merdeka, tidak bergantung pada manusia lain baik dalam berpikir maupun bertindak. 

Manusia merdeka adalah entitas mandiri yang mampu mengolah dan mengatur kehidupannya sendiri tanpa interfensi pihak atau golongan manapun.

Kini setelah 97 tahun didirikannya Taman Siswa yang serahim – seusia dengan Triloka Pendidikan, nampaknya telah terjadi distorsi historis. Karena makna dan praktik filosofisnya telah tereduksi menjadi tanggung jawab 1 golongan saja, yakni Guru. Tugas ‘memanusiakan manusia’ dibebankan kepada satu golongan masyarakat yang bahkan tidak diperhatikan tingkat kesejahteraannya. 

Agar artikel ini tidak mengambang atau dianggap sebagai tulisan profokatif saja, maka penulis akan melampirkan data dan kajian tentang kesejahteraan Guru Honorer di Indonesia.

Problematika Kesejahtreraan Guru di Indonesia

Dalam hal kesejahteraan guru, sejarah pendidikan di Indonesia sepertinya mengalami stagnansi sejak era Kolonialisme Belanda sampai hari ini. Sejak KI Hajar Dewantara yang merupakan Bapak Pendidikan mendirikan Taman Siswa pada tahun 1922, nasib guru belum pernah mencapai taraf kesejahteraan optimal yang disebabkan berbagai hal.

Dulunya disebabkan oleh kekangan kolonialis Belanda yang tentu saja tidak menginginkan daerah jajahannya menjadi cerdas. 

Saat ini, karena lemahnya pengawasan dan target yang salah sasaran dalam pengelolaan dana alokasi pendidikan yang hampir tidak menyinggung kesejahteraan bagi mereka (para guru). 

Padahal dengan gelontoran dana alokasi pendidikan sebesar 20% dari APBN atau senilai 492,5 Triliun Rupiah yang tersebar di 19 Kementerian/Lembaga seharusnya kita sudah bisa melihat kesejahteraan guru sebagai fenomena biasa dan bukannya hal langka di Republik ini.

Regulasi dan proses administrasi  yang ‘ribet’ menjadi salah satu sebab terjadinya stagnansi dalam hal kesejahteraan. 

Bagaimana tidak, guru honorer di Indonesia diwajibkan memiliki jam kerja minimal 6jam dan maksimal 24jam setiap minggunya dengan tarif 40.000 Rupiah/jam bagi guru yang mengajar di sekolah-sekolah negeri namun hanya di bayarkan 1minggu saja setiap bulannya, tiga minggu berikutnya di klasifikasi sebagai pengabdian atau gratis.

Sedangkan guru honorer yang mengajar di sekolah-sekolah swasta hanya mendapat 5.000 Rupiah/jam.

Jika di akumulasi maka guru honorer yang  mengajar pada sekolah-sekolah negeri hanya mendapatkan upah Rp. 240.000 sampai Rp. 960.000 setiap bulannya. 

Sedangkan guru honorer yang mengajar pada sekolah-sekolah swasta mendapatkan Rp. 120.000 sampai Rp. 480.000 setiap bulannya. Artinya, dengan jumlah total guru honorer di Indonesia mencapai angka 1.648.077 jiwa (sumber : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di publikasi oleh BPS) maka gelontoran dana untuk pembayaran gaji guru honorer di Indonesia tidak mencapai angka 15 Triliun Rupiah setiap tahunnya atau hanya sekitar 3,3% dari total dana alokasi pendidikan.

Rendahnya penghasilan guru yang tidak mampu mencukupi kebutuhan hidupnya ini, tidak bisa tidak akan berdampak pada rendahnya kualitas pendidikan yang pastinya akan berdampak pada penurunan kualitas Sumber Daya Manusia di Indonesia. Karena, dengan melihat realitas semacam ini dengan segala kompleksitasnya, maka para Guru tersebut pasti akan mencari alternatif lain untuk menambah penghasilannya demi mencukupi kebutuhan hidupnya. 

Para guru tidak akan lagi memiliki konsentrasi tunggal dan terpusat ke para murid dan proses pemelajaran. 

Jam kerja yang seharusnya dapat optimal karena terfokus pada pengajaran tidak lagi terjadi karena para guru lebih memikirkan bagaimana agar kompor di rumah tetap menyala, agar nampan di meja tetap terisi, dan agar perut tetap kenyang.

Realitas lainnya yang harus diketahui adalah, para guru honorer ini telah menjalankan profesi ganda demi mencukupi kebutuhan hidupnya dengan menjalankan usaha sampingan seperti membuka lapak untuk berjualan jika memiliki modal awal, atau menjajakan barang atau jasa lainnya, yang paling sering di jumpai adalah guru-guru yang menitipkan ‘nasi bungkus’ atau alat tulis di kantin sekolah tempat mereka mengajar untuk di jual ke para murid. 

Mau – tidak mau, suka – tidak suka, realitas “profesi ganda” yang terjadi di kalangan guru honorer ini harus di terima secara manusiawi dimana setiap orang memiliki naluri untuk bertahan hidup.

Regulasi dan segala bentuk kebijakan tentang pendidikan di Republik ini belum melihat Guru sebagai instrument utama yang menunjang perkembangan kualitas pendidikan demi mencapai “SDM Unggul” sebagaimana slogan baru pemerintahan ini. Sebaliknya, instrumen pendukung seperti komputerisasi, alat tulis, gedung sekolah, bangku belajar, meja belajar, dan segala komoditi mati lainnya dilihat sebagai faktor utama dalam dunia pendidikan kita.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *